Dagelan Menjelang Transisi Kepemimpinan BEM

Kabinet Persatuan Pembangunan tak lama lagi akan menyelesaikan masa jabatan mereka dan diganti dengan kepengurusan BEM yang baru. Untuk itu, struktur kepanitiaan Lembaga Pemilihan Umum Mahasiswa atau LPUM resmi diumumkan pada tanggal 28 Oktober lalu. Meskipun begitu, pendaftaran calon Ketua BEM untuk periode 2018-2019 telah dibuka lima hari sebelumnya.



Masih memakai formula yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tertulis secara jelas pada poin ketiga syarat umum bahwa mahasiswa yang bisa mencalonkan diri sebagai bakal calon Ketua BEM harus memenuhi syarat sebagai mahasiswa tingkat tiga atau mahasiswa yang sedang menjalani studi semester lima.

Persyaratan tersebut agaknya cukup diskriminatif karena secara tidak langsung calon ketua BEM hanya eksklusif untuk mahasiswa tingkat tiga saja. Padahal tidak menutup kemungkinan masih ada banyak kandidat yang jauh lebih potensial dari angkatan lainnya namun tersandung regulasi tersebut.

Menjelang transisi estafet kepengurusan, drama pencarian pemimpin baru untuk badan eksekutif tersebut makin kesini malah jadi dagelan yang menarik untuk kita simak.

Baru-baru ini LPUM telah memperpanjang masa pendaftaran calon ketua BEM sampai tanggal 13 November 2018. Beberapa hari sebelumnya, forum kelas dan angkatan 2016 agaknya mulai ramai dengan hiruk pikuk mengenai siapa yang akan maju pada pemilu raya tahun ini. Tentu saja tak semua orang mau mengemban tanggung jawab tersebut di tengah beban kuliah dan kesibukan lain. Tak heran, jika peminat jabatan tersebut bak buih di tengah lautan.

Dagelan bursa kepemimpinan BEM semakin menarik dengan adanya intervensi dari pihak BEM yang mewajibkan tiap prodi angkatan tiga untuk mencalonkan satu mahasiswa untuk dijadikan 'tumbal' sebagai bakal calon Ketua BEM lewat surat edaran nomor A-48/BEM/11/18 yang dikeluarkan pada tanggal 12 November lalu.

Lah, kok? Untuk apa memaksa mereka yang tak berminat atau malah tak mampu jadi Ketua BEM untuk mendaftarkan diri? Apa jadinya jika jabatan Ketua BEM dipegang oleh orang yang ogah-ogahan mengemban amanah tersebut satu tahun ke depan?

Jika pada akhirnya akan seperti itu, lalu untuk apa mereka masih memakai regulasi yang kaku dan cenderung memandulkan potensi pemimpin dari angkatan lain? Bahkan beberapa universitas besar jauh lebih longgar dalam memberikan persyaratan bagi bakal calon Ketua BEM mereka.

Beberapa kampus seperti UNY dan ISI, misalnya, mencantumkan syarat batas minimal/maksimal semester yang tentu saja tidak mengebiri potensi calon-calon pemimpin dari mahasiswa tingkat dua (mahasiswa semester 3 atau 4). Sehingga kompetisi memperebutkan kursi jabatan tersebut tidak terkotak-kotak hanya pada satu angkatan saja.

Sementara kampus kita yang mungil dengan SDM yang terbatas ini justru dipaksa mengikuti regulasi yang terlalu kaku. Atau malah, jangan-jangan, STTN masih menganut budaya senioritas? Apakah level junior masih dianggap belum pantas bersaing dengan para seniornya?

Namun yang jelas, dagelan ini patut kita pantau perkembangannya. Bagaimana akhirnya mereka akan mengatasi minimnya benih-benih calon pemimpin baru yang sebenarnya adalah hasil dari cacat aturan yang mereka ciptakan sendiri.