Pada hari Senin, 25 Maret 2019, seluruh pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU resmi dipecat secara sepihak oleh Runtung Sitepu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
Keputusan tersebut diambil karena Suara USU telah menerbitkan cerita pendek berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang dituduh memuat unsur pornografi dan mempromosikan LGBT.
Sebelum dilakukan pembubaran, situs web Suara USU yang menayangkan cerpen tersebut sempat disuspensi oleh pihak kampus lantaran mereka menolak untuk menurunkan cerpen tersebut.
Kebijakan yang dilakukan Rektor USU tersebut tentu merupakan tindakan kesewenang-wenangan karena telah memberangus kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan sastra.
Terlebih lagi kesewenang-wenangan tersebut dilakukan di lingkungan kampus yang sewajarnya memberikan wadah bagi para mahasiswanya untuk berdiskusi tentang berbagai hal, salah satunya terkait permasalahan sosial.
Kampus sebagai Ruang Berpikir Kritis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka sudah seharusnya pihak kampus menjamin kebebasan bagi para mahasiswanya untuk menyuarakan pemikiran mereka.
Dengan demikian, mahasiswa berhak memperoleh kesempatan dan keleluasaan untuk belajar berpikir kritis, mandiri, dan peka terhadap isu-isu sosial.
Sudah seharusnya pula mahasiswa belajar untuk menjadi akademisi yang mampu berpikir terbuka dengan isu-isu sensitif dari berbagai perspektif seperti LGBT, komunisme/PKI, atheisme, khilafah, terorisme, ganja, feminisme, sex edu, separatisme, dan lain sebagainya.
Pro-kontra terhadap suatu isu tentu wajar muncul ke permukaan, karena demikianlah kebebasan berpendapat itu bekerja. Karena masing-masing orang pasti punya hak untuk mengungkapkan argumen mereka.
Lalu apa jadinya jika kebebasan tersebut dibungkam dengan cara pembubaran dan pemecatan secara paksa seperti yang dialami Suara USU?
Terlebih lagi kesewenang-wenangan tersebut dilakukan oleh birokrat kampus yang tampaknya belum siap menerima perbedaan perspektif dan masih terkungkung dalam pemikiran yang konservatif.
Jika mengacu pada UUD 1945, maka kebijakan yang dikeluarkan Rektor USU tersebut telah mencoreng semangat pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Akhir kata, lewat artikel ini mari kita lawan pembungkaman dengan tulisan. Lawan kesewenang-wenangan dengan kewarasan.
Panjang umur pers mahasiswa!
0 Komentar