Tahun 1992 silam, sebuah perang saudara pernah memporak-porandakan sebuah negara kecil di wilayah Balkan bernama Bosnia Herzegovina. Perang tersebut merupakan perang etnis yang melibatkan tiga etnis besar di sana yaitu Bosniak (Muslim), Serb (Orthodoks), dan Croat (Katolik). Ratusan ribu jiwa tewas dan sekitar dua juta orang mengungsi akibat perang tersebut.
Perang akhirnya selesai pada tahun 1995 dengan ditandatanganinya Kesepakatan Dayton oleh ketiga etnis yang bertikai. Lewat kesepakatan tersebut, Bosnia Herzegovina resmi dibagi menjadi dua wilayah entitas dan satu wilayah netral bernama Distrik BrĨko. Mudahnya, entitas itu semacam negara di dalam negara.
Entitas yang pertama bernama Republik Srpska yang dihuni oleh mayoritas etnis Serb. Sementara entitas yang kedua bernama Federasi Bosnia Herzegovina yang dihuni oleh mayoritas etnis Bosniak dan Croat.
Hubungan Etnis Bosniak dan Croat
Saat perang terjadi, sebenarnya etnis Bosniak dan Croat pernah bekerjasama membentuk aliansi untuk melawan etnis Serb. Namun aliansi tersebut akhirnya runtuh dan mereka malah saling baku hantam akibat kepentingan politik yang berbeda.
Meskipun perjanjian damai telah dibuat dan kedua etnis telah resmi disatukan dalam satu entitas, namun etnis Bosniak dan Croat justru malah semakin sulit untuk berbaur dalam kehidupan sosial. Pernikahan lintas etnis juga sangat jarang terjadi lantaran kedua etnis menganut dua keyakinan berbeda, yaitu Islam dan Katolik.
Para pengungsi yang pulang seusai perang berakhir, sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak lagi tinggal bersama tetangga lama mereka yang berbeda etnis. Salah satu penyebabnya karena trauma. Alhasil pemukiman warga menjadi terkotak-kotak berdasarkan etnis.
Dampak di Dunia Pendidikan
Pemerintah setempat akhirnya mencoba untuk menyatukan warganya lewat kebijakan "dua sekolah dalam satu atap". Kebijakan ini diambil untuk merangkul perbedaan etnis dan agama, khususnya mulai dari lingkungan sekolah.
![]() |
Sumber : DW Documentary |
Lewat kebijakan tersebut, satu gedung sekolah digunakan oleh dua sekolah dengan beberapa macam cara. Semisal mengatur jadwal/shift secara bergantian yang disepakati kedua sekolah, atau malah pada beberapa kasus gedung yang digunakan benar-benar dibagi menjadi dua dengan dua pintu masuk berbeda. Tercatat ada sebanyak 50 sekolah yang menjalankan sistem tersebut.
Namun, banyak yang menilai kebijakan tersebut tidak akan bertahan lama di tengah kondisi politik yang terjadi. Benar saja, sistem tersebut akhirnya resmi dihentikan pada tahun 2012.
Meskipun sudah tidak lagi digunakan, kebijakan 'dua sekolah dalam satu atap' masih berjalan di salah satu daerah. Pada salah satu video dokumentasi yang dipublikasi oleh Deutsche Welle, salah satu gedung sekolah di Kota Travnik masih menjalankan sistem tersebut. Kabarnya, sistem tersebut masih berjalan dan disetujui pengadilan setempat lantaran tidak adanya keluhan dari orang tua mengenai hal itu.
Gedung tersebut digunakan oleh dua sekolah dengan dua pintu masuk yang berbeda. Sisi gedung sebelah kiri merupakan sekolah untuk para pelajar Muslim, sementara sisi gedung sebelah kanan diperuntukkan untuk anak-anak dari keluarga Katolik. Kedua sekolah tersebut dipisahkan oleh sebuah pagar besi.
Secara kasat mata, perbedaan kedua sekolah ini tampak sangat kontras. Gedung sekolah Muslim dicat warna pastel/jingga dengan kondisi yang kurang terawat dengan banyak coretan di temboknya. Sementara kondisi sekolah Katolik dicat warna biru-putih dengan kondisi yang jauh lebih baik lantaran dikelola dengan dana gereja.
Gedung sekolah tersebut seolah menjadi monumen nyata yang menggambarkan bagaimana orang-orang Muslim (Bosniak) dan Katolik (Croat) di sana sudah seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan.
Kurikulum yang Berbeda
Kurikulum yang diajarkan dikembangkan oleh masing-masing dewan sekolah yang tentu saja dipengaruhi oleh latar belakang etnis. Perbedaan tersebut berimbas pada pelajaran sejarah yang diajarkan, khususnya tentang sejarah perang saudara yang terjadi pada tahun 1992-1995 silam. Masing-masing etnis punya 'versi sejarah' mereka sendiri dengan sudut pandang yang berbeda.
Tentunya hal tersebut semakin memperparah hubungan antar etnis di negara tersebut. Terlebih lagi interaksi antar pelajar di kedua sekolah sangat jarang terjadi meskipun mereka belajar di dalam gedung yang sama.
Dan bahkan tak jarang ada sebagian dari mereka yang enggan bergaul dengan murid dari sekolah sebelah. Beberapa penyebabnya karena perbedaan kelas sosial dan juga karena merasa khawatir/takut jika bergaul dengan mereka.
Berdasarkan penelitian, satu dari delapan siswa mengaku enggan bergaul dengan siswa yang tidak satu etnis dengannya. Sementara satu dari enam siswa tidak mau belajar di kelas yang sama dengan mereka.
(Dimas)
0 Komentar